09 November, 2010

Diambil dari millist sebelah


Soekarno - Sejarah yang tak memihak
Posted by Iman Brotoseno under:

SEJARAH
SOEKARNO .

Malam minggu. Hawa panas dan angin
seolah diam tak berhembus. Malam
ini saya bermalam di rumah ibu saya.
Selain rindu masakan sambel
goreng ati yang dijanjikan, saya juga
ingin ia bercerita mengenai
Presiden Soekarno. Ketika semua mata
saat ini sibuk tertuju, seolah
menunggu saat saat berpulangnya
Soeharto, saya justru lebih tertarik
mendengar penuturan saat berpulang Sang
proklamator. Karena orang tua saya
adalah salah satu orang yang pertama
tama bisa melihat secara langsung
jenasah Soekarno.
Saat itu medio Juni 1970. Ibu yang baru
pulang berbelanja, mendapatkan
Bapak ( almarhum ) sedang menangis
sesenggukan.
" Pak Karno seda " ( meninggal )
Dengan menumpang kendaraan militer
mereka bisa sampai di Wisma Yaso.
Suasana sungguh sepi. Tidak ada
penjagaan dari kesatuan lain kecuali 3
truk berisi prajurit Marinir (dulu KKO).
Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya
KKO sangat loyal terhadap Bung Karno.
Jenderal KKO Hartono - Panglima KKO -
pernah berkata ,
" Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO.
Merah kata Bung Karno, merah kata KKO "

Banyak prediksi memperkirakan seandainya
saja Bung Karno menolak untuk turun, dia
dengan mudah akan melibas Mahasiswa dan
Pasukan Jendral Soeharto, karena dia
masih didukung oleh KKO, Angkatan Udara,
beberapa divisi Angkatan Darat seperti
Brawijaya dan terutama Siliwangi dengan
panglimanya May.Jend Ibrahim Ajie.

Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap
negara ini. Sedikitpun ia tidak mau
memilih opsi pertumpahan darah sebuah
bangsa yang telah dipersatukan dengan
susah payah. Ia memilih sukarela turun,
dan membiarkan dirinya menjadi tumbal
sejarah.
The winner takes it all. Begitulah sang
pemenang tak akan sedikitpun
menyisakan ruang bagi mereka yang kalah.
Soekarno harus meninggalkan
istana pindah ke istana Bogor .
Tak berapa lama datang surat
Panglima Kodam Jaya - Mayjend Amir
Mahmud - disampaikan jam 8 pagiyang
meminta bahwa Istana Bogor harus sudah
dikosongkan jam 11 siang.
Buru buru Bu Hartini, istri Bung Karno
mengumpulkan paka ian dan barang
barang yang dibutuhkan serta
membungkusnya dengan kain sprei. Barang
barang lain semuanya ditinggalkan.
" Het is niet meer mijn huis " -
sudahlah, ini bukan rumah saya lagi ,
demik ian Bung Karno menenangkan istrinya.

Sejarah kemudian mencatat, Soekarno
pindah ke Istana Batu Tulis sebelum
akhirnya dimasukan kedalam karantina di
Wisma Yaso.
Beberapa panglima dan loyalis dipenjara.
Jendral Ibrahim Adjie diasingkan menjadi
dubes di London . Jendral KKO Hartono
secara misterius mati terbunuh di rumahnya.

Kembali kekesaksian yang diceritakan ibu
saya. Saat itu belum banyak yang datang,
termasuk keluarga Bung Karno sendiri.
Tak tahu apa mereka masih di RSPAD
sebelumnya. Jenasah dibawa ke Wisma
Yaso. Di ruangan kamar yang suram,
terbaring sang proklamator yang separuh
hidupnya dihabiskan di penjara dan
pembuangan kolonial Belanda. Terbujur
dan mengenaskan.
Hanya ada Bung Hatta! dan Ali Sadikin -
Gubernur Jakarta - yang juga berasal
dari KKO Marinir.

Bung Karno meninggal masih mengenakan
sarung lurik warna merah serta baju hem
coklat. Wajahnya bengkak bengkak dan
rambutnya sudah botak.
Kita tidak membayangkan kamar yang
bersih, dingin ber AC dan penuh dengan
alat alat medis disebelah tempat
tidurnya. Yang ada hanya termos dengan
gelas kotor, serta sesisir buah pisang
yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik
seperti nyamuk. Kamar itu agak luas, dan
jendelanya blong tidak ada gordennya.
Dari dalam bisa terlihat halaman
belakang yang ditumbuhi rumput alang
alang setinggi dada manusia !.

Setelah itu Bung Karno diangkat.
Tubuhnya dipindahkan ke atas karpet
di lantai di ruang tengah.
Ibu dan Bapak saya serta beberapa orang
disana sungkem kepada jenasah, sebelum
akhirnya Guntur Soekarnoputra datang,
dan juga orang orang lain.

Namun Pemerintah orde baru juga
kebingungan kemana hendak dimakamkan
jenasah proklamator.
Walau dalam Bung Karno berkeingan agar
kelak dimakamkan di Istana Batu Tulis,
Bogor . Pihak militer tetap tak mau
mengambil resiko makam seorang Soekarno
yang berdekatan dengan ibukota .Maka
dipilih Blitar, kota kelahirannya
sebagai pe risti rahatan terakhir.
Tentu saja Presiden Soeharto tidak
menghadiri pemakaman ini.

Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas
wakil komandan Cakrabirawa,
" Bung karno diinterogasi oleh Tim
Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara
yang amat kasar, dengan memukul
mukul meja dan memaksakan jawaban.
Akibat perlakuan kasar terhadap
Bung Karno, penyakitnya makin parah
karena memang tidak mendapatkan
pengobatan yang seharusnya diberikan. "
(Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966)

dr. Kartono Mohamad yang pernah
mempelajari catatan tiga perawat Bung
Karno sejak 7 februari 1969 sampai 9
Juni 1970 serta mewancarai dokter
Bung Karno berkesimpulan telah terjadi
penelantaran. Obat yang diberikan hanya
vitamin B, B12 dan duvadillan untuk
mengatasi penyempitan darah. Padahal
penyakitnya gangguan fungsi ginjal. Obat
yang lebih baik dan mesin cuci darah
tidak diberikan.
( Kompas 11 Mei 2006 )

Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan
lebih lanjut,
" Bung Karno justru dirawat oleh dokter
hewan saat di Istana Batutulis. Salah
satu perawatnya juga bukan perawat.
Tetapi dari Kowad"
( Kompas 13 Januari 2008 )

Sangat berbeda dengan dengan perlakuan
terhadap mantan Presiden Soeharto, yang
setiap hari tersedia dokter dokter dan
peralatan canggih untuk memperpanjang
hidupnya, dan masih didampingi tim
pembela yang dengan sangat gigih membela
kejahatan yang dituduhkan. Sekalipun
Soeharto tidak pernah datang berhadapan
dengan pemeriksanya, dan ketika tim
kejaksaan harus datang ke rumahnya di
Cendana. Mereka harus menyesuaikan
dengan jadwal tidur siang sang Presiden!

Malam semakin panas. Tiba tiba saja
udara dalam dada semakin bertambah
sesak. Saya membayangkan sebuah bangsa
yang menjadi kerdil dan munafik.

Apakah jejak sejarah tak pernah
mengajarkan kejujuran ketika justru
manusia merasa bisa meniupkan roh roh
kebenaran ?
Kisah tragis ini tidak banyak diketahui
orang. Kesaksian tidak pernah menjadi
hakiki karena selalu ada tabir tabir di
sekelilingnya yang diam membisu.
Selalu saja ada korban dari mereka yang
mempertentangkan benar atau salah.

Butuh waktu bagi bangsa ini untuk
menjadi arif.
Kesadaran adalah Matahari
Kesabaran adalah Bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Keterbukaan adalah pelaksanaan kata kata
( * WS Rendra )