09 November, 2008

Malaikat maut


AIRMATA RASULULLAH SAW..

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar
seorang yang berseru mengucapkan
salam.

“Bolehkah saya masuk? “tanyanya.

Tapi Fatimah tidak mengizinkannya
masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang
demam”, kata Fatimah yang membalikkan
badan dan menutup pintu.


Kemudian ia kembali menemani ayahnya
yang ternyata sudah membuka mata dan
bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu
wahai anakku?”

“Tak tahulah ayahku, orang sepertinya
baru sekali ini aku melihatnya”, tutur
Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu
dengan pandangan yang menggetarkan.
Seolah-olah bahagian demi bahagian
wajah anaknya itu hendak
dikenang. “Ketahuilah, dialah yang
menghapuskan kenikmatan sementara,
dialah yang memisahkan pertemuan di
dunia. Dialah malaikatul maut, kata
Rasulullah”, Fatimah pun menahan
ledakan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri,
tapi Rasulullah menanyakan kenapa
Jibril tidak ikut bersama
menyertainya.

Kemudian dipanggillah Jibril yang
sebelumnya sudah bersiap di atas langit
dunia menyambut ruh kekasih Allah dan
penghulu dunia ini.

“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di
hadapan Allah?” Tanya Rasululllah
dengan suara yang amat lemah. “Pintu-
pintu langit telah terbuka, para
malaikat telah menanti ruhmu. Semua
surga terbuka lebar menanti
kedatanganmu” , kata Jibril.

Tapi itu ternyata tidak membuatkan
Rasulullah lega, matanya masih penuh
kecemasan.

“Engkau tidak senang mendengar khabar
ini?” Tanya Jibril lagi. “Khabarkan
kepadaku bagaimana nasib umatku
kelak?”,

“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah,
aku pernah mendengar Allah berfirman
kepadaku :

“Kuharamkan surga bagi siapa saja,
kecuali umat Muhammad telah berada di
dalamnya”,” kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya
Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh
Rasulullah ditarik. Nampak seluruh
tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-
urat lehernya menegang. “Jibril, betapa
sakit sakaratul maut ini” Perlahan
Rasulullah mengaduh.

Fatimah terpejam, Ali yang di
sampingnya menunduk semakin dalam dan
Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau
melihatku, hingga kau palingkan wajahmu
Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat
pengantar wahyu itu. “Siapakah yang
sanggup, melihat kekasih Allah
direnggut ajal”, kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah
mengaduh, karena sakit yang tidak
tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat
nian maut ini, timpakan saja semua
siksa maut ini kepadaku, jangan pada
umatku”. Badan Rasulullah mulai dingin,
kaki dan dadanya sudah tidak bergerak
lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak
membisikkan sesuatu, Ali segera
mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis-
shalaati, wa maa malakat aimaanukum” -
peliharalah shalat dan peliharalah
orang-orang lemah di antaramu. Di
luar, pintu tangis mulai terdengar
bersahutan, sahabat saling berpelukan.

Fatimah menutupkan tangan di wajahnya,
dan Ali kembali mendekatkan telinganya
ke bibir Rasulullah yang mulai
kebiruan. “Ummatii, ummatii,
ummatiii!” - Umatku, umatku, umatku

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia
yang memberi sinaran itu.


Kini, mampukah kita mencintai
sepertinya?

Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa
baarik wa sallim alaihi. Betapa
cintanya Rasulullah kepada kita.

cintai Allah dan RasulNya, seperti
Allah dan RasulNya mencintai kita.
Karena sesungguhnya selain daripada itu
hanyalah fana belaka. Amin...

Usah gelisah apabila dibenci manusia
karena masih banyak yang menyayangimu
di dunia, tapi gelisahlah apabila
dibenci Allah karena tiada lagi yang
mengasihmu di akhirat.

Tidak ada komentar: